Tanggal 25 September 1967 menjadi tonggak sejarah penting bagi gerakan perempuan dalam tubuh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada momentum Mukernas II PMII di Semarang, lahirlah sebuah wadah yang kemudian diberi nama Korps PMII Putri (Kopri). 

Kehadirannya bukan hanya sekadar pelengkap, tetapi menjadi ruang pengorganisasian yang lahir dari kesadaran historis bahwa kader perempuan membutuhkan ruang aktualisasi, pembelajaran, dan perjuangan yang khas sesuai dengan konteks sosialnya. 

Kini, di usia yang ke-58 tahun, Kopri telah menjelma sebagai kekuatan besar yang mengakar di berbagai cabang, termasuk di wilayah pedesaan dan perkotaan, menjangkau lintas ruang serta merangkul beragam dinamika kehidupan.

Perjalanan panjang lebih dari setengah abad tidaklah sederhana. Ada dinamika pasang surut, ada masa penuh tantangan, namun juga ada banyak capaian yang membanggakan. 

Kopri hadir dengan identitas ganda: di satu sisi tetap teguh pada nilai keislaman dan keindonesiaan, di sisi lain terbuka pada perkembangan zaman serta kebutuhan gerakan perempuan yang progresif. 

Kelahiran yang bersamaan dengan Mukernas II memberi makna khusus, bahwa keberadaannya sejak awal diposisikan bukan di pinggir, melainkan dalam pusaran utama dinamika organisasi.

Dari masa ke masa, kader perempuan PMII melalui Kopri terus meneguhkan diri sebagai subjek perubahan. Tidak sekadar mengikuti arus, tetapi berupaya membentuk arus itu sendiri. 

Gerakan perempuan dalam tubuh Kopri bukan gerakan yang instan, melainkan lahir dari proses panjang yang mengakar pada tradisi intelektual, spiritual, dan sosial. Semua ini membentuk karakter bahwa kader perempuan PMII tidak hanya kuat di medan diskusi, tetapi juga tangguh dalam praksis sosial yang nyata.

Momentum Harlah ke-58 menjadi sangat penting untuk merefleksikan perjalanan ini. Satu hal yang tak bisa diabaikan adalah bahwa kekuatan organisasi perempuan terletak pada kualitas kaderisasi. 

Tanpa kaderisasi yang kokoh, gerakan tidak akan mampu bertahan di tengah derasnya arus perubahan. Proses kaderisasi Kopri sejak awal bukan sekadar kegiatan formal, tetapi ruang penguatan nilai, pengasahan intelektual, serta pembentukan watak kepemimpinan perempuan yang siap tampil di ruang publik. 

Setiap kader yang lahir dari proses ini membawa identitas yang khas: berakar pada nilai keislaman, berorientasi pada keadilan, dan terbuka pada keberagaman.

Penguatan kaderisasi menjadi kunci agar gerakan perempuan dalam tubuh PMII tidak terjebak dalam simbolisme belaka. Kaderisasi harus terus berinovasi, merespons kebutuhan generasi baru, sekaligus menjaga ruh perjuangan yang diwariskan oleh generasi pendahulu. 

Dengan begitu, setiap kader mampu membaca realitas sosial yang kompleks, mampu menghadirkan gagasan segar, serta berani menyuarakan aspirasi perempuan di ruang-ruang pengambilan keputusan. 

Kaderisasi yang berkualitas akan melahirkan pemimpin perempuan yang tidak hanya fasih berbicara tentang keadilan gender, tetapi juga mampu mengintegrasikan nilai-nilai itu ke dalam kerja-kerja sosial yang nyata.

Gerakan Kopri juga tidak bisa dilepaskan dari kontribusinya dalam membangun peradaban yang inklusif. Dalam konteks sosial Indonesia yang majemuk, inklusivitas bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan mendesak. 

Kader perempuan yang lahir dari rahim Kopri dituntut untuk menjadi jembatan di tengah keberagaman, membangun narasi persatuan tanpa mengabaikan perbedaan. 

Perempuan Kopri harus mampu hadir di ruang-ruang strategis untuk memastikan bahwa suara kelompok rentan tidak terpinggirkan, dan keadilan benar-benar menjadi pijakan bersama.

Tantangan zaman semakin kompleks. Masih tingginya kasus kekerasan berbasis gender, rendahnya partisipasi perempuan dalam politik, serta keterbatasan akses pendidikan di beberapa daerah menjadi pekerjaan rumah besar. 

Kopri tidak boleh abai terhadap kenyataan ini. Gerakan perempuan yang sejati adalah gerakan yang mampu menyentuh persoalan konkret di tengah masyarakat. Karena itu, kaderisasi yang dilakukan harus diarahkan agar melahirkan kader-kader yang peka sosial, mampu melakukan advokasi, serta memiliki kapasitas intelektual untuk menawarkan solusi.

Sejarah panjang menunjukkan bahwa setiap pencapaian besar selalu lahir dari keberanian mengambil sikap. Kopri dalam usia ke-58 tahun telah membuktikan bahwa keberanian itu nyata. 

Namun, perjalanan tidak boleh berhenti di sini. Tantangan ke depan justru lebih besar. Generasi baru menunggu ruang-ruang pengorganisasian yang lebih segar, metode kaderisasi yang lebih adaptif, serta orientasi gerakan yang lebih relevan dengan isu-isu global. 

Di sinilah pentingnya memastikan kesinambungan kaderisasi agar setiap periode melahirkan regenerasi yang siap melanjutkan estafet perjuangan.

Usia ke-58 bukan sekadar angka, tetapi simbol kedewasaan gerakan. Kematangan ini harus diiringi dengan kesadaran baru, bahwa gerakan perempuan di tubuh Kopri bukan hanya tentang membela hak perempuan, tetapi juga tentang membangun peradaban yang berkeadilan. 

Gerakan ini bukan hanya milik satu generasi, melainkan warisan kolektif yang harus dijaga, dirawat, dan terus diperbarui. Dalam hal ini, kaderisasi menjadi jantung organisasi. Tanpa kaderisasi yang kuat, gerakan akan rapuh; sebaliknya, dengan kaderisasi yang kokoh, gerakan akan terus hidup dan relevan sepanjang zaman.

Harlah ke-58 menjadi ruang refleksi sekaligus momentum untuk menegaskan kembali arah perjuangan. Ruang-ruang diskusi, forum kaderisasi, hingga kegiatan sosial yang dijalankan harus selalu diarahkan untuk memperkuat kapasitas kader perempuan. 

Dari ruang inilah akan lahir pemimpin-pemimpin perempuan yang tidak hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya, tetapi juga hadir sebagai aktor penting dalam membangun bangsa.

Akhirnya, perjalanan panjang ini adalah bukti bahwa Kopri bukan organisasi biasa. Ia adalah rumah perjuangan, ruang pembelajaran, sekaligus kawah candradimuka bagi kader perempuan. 

Di usia ke-58 tahun, harapan terbesar adalah agar semangat progresif terus menyala, kaderisasi terus diperkuat, dan gerakan perempuan ini semakin mampu memberi kontribusi nyata bagi pembangunan peradaban inklusif. 

Dari Semarang tahun 1967 hingga kini, spirit itu tidak pernah padam, dan akan terus diwariskan bagi generasi mendatang.

Dirgahayu Kopri ke 58 Tahun 2025


Dyah Ayu Putri Fashihatullisan S.Pd

Ketua Cabang Kopri Kab Nganjuk 

Komentar

    Belum ada komentar

Tinggalkan komentar