Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ditegaskan bahwa fungsi kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada seluruh warga negara tanpa diskriminasi, termasuk kepada perempuan dan anak.

Dalam kerangka itu, Kepolisian memiliki Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di bawah fungsi Reserse Kriminal (Reskrim) sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007. Unit PPA mendapat mandat untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan, serta menegakkan hukum terhadap pelaku. 

Ruang lingkup tugasnya mencakup penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, eksploitasi anak, perdagangan orang, hingga berbagai bentuk kejahatan berbasis gender lainnya.

Unit PPA semestinya bekerja dengan prinsip ramah korban, memperhatikan aspek psikologis, trauma, dan pemenuhan hak-hak dasar perempuan dan anak. 

Selain itu, kerja Unit PPA juga dituntut mampu membangun koordinasi, integrasi, dan sinergi dengan berbagai pihak, mulai dari instansi pemerintah, lembaga perlindungan anak, organisasi masyarakat, hingga jaringan perempuan agar perlindungan berjalan menyeluruh.

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya. Unit PPA Polres Nganjuk dinilai belum menunjukkan kinerja massif dan progresif dalam menjalankan peran strategisnya. 

Akses terhadap data resmi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pun sulit diperoleh publik. Hal ini menunjukkan lemahnya transparansi serta minimnya komitmen dalam memberikan perlindungan yang layak.

Beberapa waktu lalu, Polres Nganjuk memang sempat menggelar Forum Group Discussion (FGD) bertema “Peran Stakeholder, Orang Tua, dan Guru dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” di Aula Tantya Sudhirajati, pada Selasa (11/2/2025). 

Namun kegiatan itu terkesan sebatas seremonial tanpa ada tindak lanjut nyata berupa program berkesinambungan. Minimnya aksi preventif berupa sosialisasi, edukasi publik, maupun kampanye perlindungan—baik luring maupun daring—kian menegaskan bahwa persoalan ini belum menjadi prioritas serius.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen Polres Nganjuk, khususnya Unit PPA, dalam menjalankan mandat perlindungan perempuan dan anak. 

Padahal, kelompok ini adalah kelompok rentan yang sangat membutuhkan perhatian khusus dari negara. Jika kondisi ini dibiarkan, Unit PPA hanya akan menjadi lembaga yang formalitas tanpa memberikan dampak nyata bagi masyarakat Nganjuk.

Atas kondisi  tersebut PC KOPRI Nganjuk dalam audiensinya dengan Unit PPA Polres Nganjuk, menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut :

  1. Mengecam lemahnya peran Unit PPA Polres Nganjuk dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
  2. Mendesak Kapolres Nganjuk untuk memberikan perhatian serius terhadap isu perempuan dan anak, dengan mengarahkan Unit PPA bekerja lebih massif, terukur, dan transparan.
  3. Menuntut Unit PPA Polres Nganjuk segera melaksanakan program-program preventif berupa edukasi publik, sosialisasi, dan kampanye perlindungan perempuan dan anak secara rutin dan terencana, baik secara langsung maupun melalui media daring.
  4. Meminta seluruh aparat kepolisian di Nganjuk menegakkan hukum tanpa diskriminasi gender maupun usia, serta memastikan setiap kasus kekerasan ditangani dengan pendekatan ramah korban.

PC KOPRI Nganjuk menegaskan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan sekadar tanggung jawab moral, melainkan kewajiban konstitusional negara. 

Oleh karena itu, PC Kopri akan terus mengawal isu ini dan menyerukan agar kepolisian hadir sebagai pengayom yang nyata, bukan sekadar simbol formalitas.

Penulis 

Dyah Ayu Putri Fashihatullisan

Ketua Cabang Kopri Kab Nganjuk 

Komentar

    Belum ada komentar

Tinggalkan komentar