Terjadinya perang Iran dan Israel membuat kita semua berfikir, bagaimana tanggungjawab sebagai pemerintah, bagaimana nasib rakyat dan pentingnya kemampuan sumber daya manusia yang canggih. 

Sebagai negara, Iran memiliki segudang tenaga ahli dan ilmuwan yang mampu menciptakan berbagai sistem persenjataan yang canggih, sehingga berbagai jenis senjata canggih berteknologi tinggi bisa di miliki dan mampu memberi jawaban atas tekanan Amerika Serikat dan Sekutunya. 

Sebagai warga negara, dalam diam rasa nasionalisme seluruh warga negara Iran memberikan support besar terhadap invasi asing, sehingga secara kompak memberikan dukungan kepada pemerintah untuk melawan kedloliman yang terjadi pada negaranya

Perang jelas menyusahkan rakyat dan hilangnya rasa aman bagi seluruh rakyat, namun ketika sebuah bangsa dijajah, maka tidak ada kata lain selain melawan dan menjaga kedaulatan bangsa dan negara. 

Strategi  Iran dalam menghadapi Israel dan sekutunya tidak ditentukan oleh kemampuan semata, tetapi oleh kalkulasi jangka panjang. Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran strategis klasik. 

Sun Tzu dalam karyanya, The Art of War, menyatakan, ”Seni tertinggi dalam perang adalah menaklukkan musuh tanpa pertempuran.” Iran tampaknya memahami prinsip ini dengan sangat baik. 

Ketimbang menyerang secara langsung, Iran memilih menciptakan ketegangan, mengelola ketidakpastian, dan menjaga posisi tawar melalui strategi gertakan. Maka penutupan selat Hormuz sebagai alat diplomasi tekanan dari pada menjadikan media konfrontasi. 

Carl von Clausewitz, filsuf perang asal Prusia, juga memberikan kerangka berpikir relevan. Dalam On War, ia menyebut bahwa ”Perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain.” 

Iran tidak melihat aksi militer sebagai tujuan, melainkan sebagai instrumen untuk memperkuat negosiasi dan menjaga posisi tawar di arena internasional. 

Ketika diplomasi formal terhenti, Iran menggunakan kekuatan militer secara simbolik—melalui manuver angkatan laut, dukungan terhadap milisi proksi, atau bahkan serangan siber terbatas.

Clausewitz juga memperkenalkan konsep ”center of gravity”—pusat gravitasi kekuatan musuh yang bila dihantam akan melemahkan seluruh sistem lawan. 

Jika dahulu ketergantungan AS pada minyak Teluk menjadi pusat itu, kini pusat tersebut telah bergeser. Iran pun menyesuaikan strateginya, tidak lagi menyasar simpul yang telah kehilangan sensitivitas.

Strategi Iran saat ini cenderung bersifat asimetris: penggunaan aktor non-negara, gangguan digital, dan sabotase terbatas di kawasan. 

Ini semua adalah bentuk dari perang tidak langsung, di mana dampaknya bersifat meresahkan, tetapi tidak memicu eskalasi langsung. Dalam kerangka ini, Selat Hormuz lebih berfungsi sebagai alat simbolik daripada alat tempur.

Strategi perang Iran membuka mata kita semua, kekuatan negara, strategi mengelola konflik dan kesatuan rakyat adalah aset besar yang harus terus di bangun. 

Perang Iran memberikan pelajaran kepada seluruh bangsa Indonesia saatnya berfikir serius dan belajar lebih giat untuk memiliki tenaga ahli yang konsen terhadap inovasi persenjataan canggih dan rekayasa tehnologi untuk menciptakan pertahanan negara yang kuat. 

Renungkan jika negara kita dijajah, apa yang akan kita jadikan pertahanan kalau persenjataan negara lain begitu modern. Bangsa ini butuh kompak untuk membangun, bukan melakukan intrik antar warga bangsa yang tidak mendidik.

Saatnya seluruh rakyat Indonesia belajar dari Negara Iran yang hari ini menunjukkan kepada dunia bahwa Iran negara maju, kuat dan rakyatnya memiliki nasionalisme yang luar biasa. 

Semoga Allah segera memberikan perdamaian di kawasan teluk, agar keamanan dan perdamaian dunia bisa tercipta. Amin 

Penulis 

HM. BASORI, M.Si 

Direktur Sekolah Perubahan, Training, Research, Consulting, and Advocacy

Komentar

    Belum ada komentar

Tinggalkan komentar